Cerita Malam Satu Suro dari Pelaku Ritual Kejawen
Cerita Malam Satu Suro dari Pelaku Ritual Kejawen
Sejumlah tradisi dan ritual unik biasa hadir di malam satu Suro. Dari tirakatan, jamasan atau memandikan benda kramat, hingga melakukan perenungan diri sambil berdoa dan puasa berbicara, tradisi dan ritual tersebut sering disaksikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun, bagaimana dengan di Jakarta maupun Jawa Barat? Seorang pelaku tradisi kejawen di malam satu Suro, Tri Harwanto, menceritakan tradisi yang ia lakukan bersama komunitasnya.
Bagi Tri, malam satu Suro diartikan hampir sama seperti Lebaran atau tahun baru Masehi. Selalu ada perayaan atau tradisi yang dilakukan. Khusus untuk malam satu Suro, yang dilakukan adalah berdoa bersama, makan bubur suro, serta refleksi diri hingga tengah malam.
"Doanya masing-masing saja, tidak ada yang khusus memperingati tahun baru. Apalagi bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Jakarta atau Jawa Barat," kata Tri yang merayakan malam satu Suro di Kota Kembang, Bandung.
Ritual seperti memandikan benda pusaka sebenarnya juga masih dilakukannya. Hanya saja, tidak pada malam satu Suro, tetapi dapat di lain waktu.
Bubur Suro
"Tidak terlalu sampai seperti itu (melakukan ritual), ini hari yang khusus karena hari permulaan, sehingga biasanya kita lebih merefleksi setahun yang lalu dan memperbaiki diri," ujar Tri.
Yang cukup menarik, Tri masih mempertahankan tradisi makan bubur Suro. Sajian khusus ini sebenarnya adalah bubur beras yang disajikan dengan tujuh macam kacang yang berbeda.
"Bubur Suro itu sebenarnya simbol dari masyarakat agraris, jumlahnya tujuh mungkin bisa berarti sesuatu bagi masyarakat Jawa," ujar Tri.
Masyarakat Jawa menyebut angka tujuh dengan pitu yang juga kerap diartikan sebagai pitulungan atau pertolongan. Maka angka tujuh dipercaya sebagai angka yang memberikan pertolongan.
Post a Comment